Just another Wadah Aspirasi dan Kreasi Mahasiswa UGM Sites site

Archive for March, 2015

Akuntansi Joint Venture

Posted Monday, March 30th, 2015

Pengertian

Joint venture adalah persekutuan jangka pendek, dimana para sekutu pada umumnya sudah mempunyai usaha pokok.

 

Metode Akuntansi Untuk Joint Venture

Ada 2 metode akuntansi untuk mencatat transaksi joint venture yaitu:

  1. Pembukuan dijadikan satu dengan pembukuan usaha rutin salah satu sekutu
  2. Pembukuan terpisah dari pembukuan usaha rutin sekutu

 

  1. Pembukuan dijadikan satu dengan pembukuan usaha rutin salah satu sekutu

Dalam metode ini semua transaksi yang berhubungan dengan operasi joint venture dicatat oleh semua sekutu dengan pembukuan sebagai berikut:

Keterangan Sekutu pemegang pembukuan Sekutu bukan pemegang pembukuan
Aktiva, hutang Nama aktuva, hutang dengan diberi tanda joint venture Nama pemegang pembukuan
Modal Nama pemegang modal Nama penanam modal
Rekening Nominal joint venture Joint venture

 

 

KASUS 1

Pada tanggal 1 januari 2005 Adi dan lili membuka usaha joint venture dalam menjual tanah kaplingan. Disepakati Adi menyerahkan tanah 20 kapling dengan harga pokok @ Rp. 1.000.000 dan diberi harga oleh Adi untuk joint venture sebesar Rp. 1.250.000,-. Lili menyerahkan uang tunai sebesar Rp. 5.000.000 untuk biaya perijinan. Laba dibagi dengan komposisi 75% untuk adi dan 25% untuk Lili.

Transaksi 1 januari samapai dengan Agustus 2005 yaitu periode pembentukanjoint venture sebagai berikut:

  • Dibayar biaya perijininan Rp. 500.000
  • Dibayar biaya perbaikan lingkungan Rp. 2.000.000
  • Dibayar biaya penjualan Rp. 1.000.000
  • Dibayar biaya kantor Rp.500.000
  • Dijual 20 kapling tanah @ Rp. 2.000.000 secara kredit
  • Piutang sebesar Rp. 2.000.000 tak tertagih
  • Pada tanggal 31 Agustus kas dikembalikan pada anggota jointventure pemegang pembukuan (Adi)

Diminta : susunlah jurnal untuk mencatat transaksi tersebut

Pembahasan

(dalam Rp. 000)

Transaksi Buku Adi Buku Lili
Investasi Adi JV                         25.000

Tanah                        20.000

Laba penyerahan tnh     5.000

JV                      25.000

Tanah                      20.000

Laba penyerahan tnh   5.000

Investasi Lili Kas-JV                     5.000

Lili                               5.000

Adi                       5.000

Kas                            5.000

Membayar biaya-biaya JV                           4.000

Kas-JV                         4.000

JV                         4.000

Adi                             4.000

Menjual tanah Piutang-Jv            40.000

JV                               40.000

Adi                     40.000

JV                           40.000

Penerimaan piutang tertagih Kas-JV                   38.000

Piutang-JV                   38.000

 

Menghapus piutang JV                           2.000

Piutang-JV                     2.000

JV                         2.000

Adi                             2.000

Mengakui laba joint venture JV                           9.000

Laba JV                        6.750

Lili                               2.250

JV                         9.000

Adi                             6.750

Laba JV                       2.250

Pengambilan kas joint venture Kas                       31.750

LILI                        7.250

Kas JV                         39.000

Kas                       7.250

Adi                             7.250

 

 

  1. Pembukuan terpisah dari pembukuan usaha rutin sekutu

Bila joint venture membuat catatan terpisah, maka catatan/pembukuan joint venture dicatat seperti usaha biasa sedangkan anggota joint venture hanya mencatat transaksi yang ada hubungannya dengan dirinya saja sepert:

  1. Penawaran dana kej oint venture
  2. Perolahanlaba atas joint venture
  3. Penarikankembali dana yang tertanam dalam joint venture

 

KASUS 2

Dari kasus 1 tapi dicatat dalam pembukuan yang terpisah

Pembahasan

 

(dalam Rp. 000)

transaksi Buku Joint Venture Buku Adi Buku Lili
 

1

Tanah           20.000

Mdl Adi             20.000

Invs. Pd JV   25.000

Tanah                 20.000

 

 

2 Kas               5.000

Mdl Lili                 5.000

 

Invs. Pd JV   5.000

Kas                   20.000

 

3 Biaya             4.000

Kas                     4.000

 

4

Piutang             40.000

Penjualan           40.000

5 Kas                 38.000

Piutang              38.000

 

6

Penghapusan

piutang             2.000

Piutang               2.000

 

 

7

Penjuala           40.000

Biaya                  4.000

Penghapusan

piutang               2.000

Tanah               20.000

Mdl adi               6.750

Mdl Lili                2.250

Invs. Pd JV     6.750

Laba JV                 6.750

 

Invs. Pd JV      2.250

Laba JV             2.250

 

 

8

Mdl adi             31.750

Mdl LILI             7.250

Kas                   39.000

Kas             31.750

Invs pd JV             31.750

Kas             7.250

Invs. pd JV           7.250

 

 

Penghapusan Piutang Menurut Pajak

Posted Monday, March 30th, 2015

Biaya Kerugian Penghapusan Piutang menurut pajak

Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang-undang PPh mengatur bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (dan memenuhi syarat tertentu) dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak (sebagai deductable expenses). Syarat-syarat yang ditetapkan agar biaya kerugian penghapusan piutang tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah sbb :

  1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
  2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
  3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
  4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh;

Dalam penjelasan pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh dijelaskan bahwa : “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.

Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya”.

Berdasarkan penjelasan pasal 6 ayat 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat yang ditetapkan agar piutang yang nyata-nyata tidak dapat dihapus dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah untuk membuktikan bahwa wajib pajak (kreditur) telah melakukan upaya yang maksimal atau terakhir dalam melakukan penagihan piutangnya.

Sebagai petunjuk pelaksanaan dari pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh, pada tanggal 10 Juni 2009 Menteri Keuangan telah menetapkan PMK-105/PMK.03/2009 (“PMK-105”) tentang “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto” yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2009.

Berikut ini hal-hal yang diatur dalam PMK-105 tersebut :
1) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
3) Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi :

  • a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan koran/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya Yang berskala nasional; atau
  • b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan Himpunan Bank-Bnak Milik Negara (HIMBARA)/Persatuan Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS) dan/atau penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia.

4) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak.

5) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
6) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan :

  • a. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan;
  • b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
  • c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.

7) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak harus mencantumkan identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

8 ) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c PMK-105 (Point 5 huruf c diatas) dilakukan dengan cara melampirkan :

  • a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau
  • b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;atau
  • c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
  • d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapukan yang disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh kreditur.

9) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Penghapusan Piutang Debitur Kecil

1) Untuk dapat membebankan biaya kerugian piutang (Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih) atas debitur kecil dan debitur kecil lainnya tidak diperlukan syarat-syarat seperti tersebut pada point 5 diatas.
2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:

  • a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
  • b. Kredit Usaha Tanu (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiaya usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
  • c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
  • d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
  • e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau
  • f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.

3) Piutang yang nyata-nyata tidak ditagih kepada debitur kecil lainnya adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
4) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

Catatan :

Entah kenapa syarat yang menurut pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh tertulis “telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial” dalam PMK-105 berubah menjadi “telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan”

Bagi kreditur, untuk membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial salah satunya dapat dilakukan dengan menunjukkan laporan laba-rugi komersial. Hal ini tentu relative lebih mudah dibandingkan dengan membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan.

Dalam PMK-105 juga tidak disebutkan bagaimana caranya kreditur membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur. Apakah kreditur wajib meminta laporan keuangan debitur? Atau dengan cara lain? Bagaimana jika debitur adalah WP orang pribadi yang tidak melakukan pembukuan?

 

SPT Masa ;

No Jenis SPT Masa Batas Waktu Penyetoran/Pembayaran Batas Waktu Penyampaian SPT Terakhir
1. PPh Pasal 21 Tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Tanggal 20 Bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 – Bendaharawan Pada hari yang sama dengan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja negara, dengan SSP yang diisi oleh dan atas nama rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan. Empat belas (14) hari setelah akhir Masa Pajak.
3. PPh Pasal 22 – Bea Cukai harus disetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan dilakukan Tujuh hari setelah pembayaran
4. PPh Pasal 22 – yang dipungut Pertamina harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum penebusan Delivery Order (DO). Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
5. PPh Pasal 22 – Badan Tertentu paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya. Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
6. PPh Pasal 23/26 Tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa pajak berakhir
7. PPh Pasal 25 tanggal 15 bulan takwim berikutnya. Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa pajak berakhir.
8. PPN/PPn BM – PKP / Pemungut PPN selain Bendaharawan tanggal 15 bulan takwim berikutnya. Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa pajak berakhir.
9. PPN/PPn BM -Bendaharawan> selambat-lambatnya tanggal 7 bulan takwim berikutnya Empat belas (14) hari setelah akhir Masa pajak.
10. PPN/PPn BM – Yang dipungut Bea Cukai harus disetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan dilakukan Tujuh hari setelah pembayaran

SPT Tahunan ;

No Jenis Pajak Yang Menyampaikan SPT Batas Waktu Pembayaran Batas Waktu Penyampaian SPT Terakhir
1. SPT PPh Tahunan Wajib Pajak Yang Punya NPWP Tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak sebelum SPT disampaikan Tanggal 31 bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
2. SPT PPh Pasal 21 Tahunan Pemotong PPh Pasal 21 Tanggal 25 Maret Tahun Takwim berikutnya sebelum SPT disampaikan. Tanggal 31 bulan ketiga setelah tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

 

Teori Perpajakan

Posted Thursday, March 19th, 2015

PENGERTIAN PAJAK DAN PUNGUTAN LAINNYA

 

Pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat memahami mengapa kita harus membayar pajak. Ketika kita sudah memahami hal ini, diharapkan muncul kesadaran akan kewajiban untuk membayar pajak.

Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pajak diantaranya :

Prof. Dr. P. J. A. Andriani menyatakan bahwa “ pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

Sedangkan pengertian Pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, dalam bukunya “Dasar – dasar hukum Pajak dan Pajak Pendapatan” (1990:5) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R,pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Sedangkan Pengertian pajak menurut Undang – Undang No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan pasal 1 menyebutkan :

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan pengertian – pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ciri – ciri pajak adalah sebagai berikut :

  1. Pajak merupakan kontribusi wajib dari masyarakat kepada Negara
  2. Tanpa kontra prestasi secara langsung
  3. Dipungut oleh pemerintah pusat (negara) maupun oleh pemerintah daerah (propinsi, kabupaten/kota) berdasarkan UU & aturan pelaksanaanya, sehingga sanksinya tegas dan bisa dipaksakan.
  4. Digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan-kemakmuran masyarakat.
  5. Memiliki fungsi untuk mengisi kas/anggaran negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintah (budgetair) dan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam bidang ekonomi.

 

Selain pajak, ada juga beberapa pungutan lain yang dikenakan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah kepada masyarakat, pungutan – pungutan tersebut antara lain :

Retribusi adalah pembayaran dengan mendapatkan kontraprestasi (balas jasa) secara langsung dapat dirasakan. Misalnya pembayaran karcis parkir, karcis masuk terminal, dan pembayaran uang kuliah. Pungutan Retribusi di Indonesia diatur dalam Undang – undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Sumbangan adalah pembayaran yang tidak mendapatkan kontraprestasi sama sekali. Sedangkan penerima sumbangan merasakan imbalan / manfaat langsung dari sumbangnan tersebut. Misalnya sumbangan untuk korban Bencana Alam.

 

 

  1. SUMBER HUKUM PAJAK DAN KEDUDUKAN HUKUM PAJAK

 

Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat sebagai pembayar pajak (Wajib Pajak). Hukum pajak sering juga disebut hukum fiskal yang merupakan bagian dari hukum publik/hukum administrasi negara.

 

Hukum Pajak dibedakan menjadi:

 

  1. Hukum Pajak Materiil

Adalah peraturan yang mengatur tentang pajak yang sifatnya umum. Hukum pajak materiil memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, hukum dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak. Umumnya mengandung unsur-unsur subjek, objek, tarif dan Dasar Pengenaan Pajak.

Hukum Pajak Materiil ini wujudnya berupa Undang-Undang Perpajakan, seperti ; Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, UU No. 18 tahun 2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 42 tahun 2009 tentang PPN & PPnBM, dsb.

 

  1. Hukum Pajak Formil

Adalah Peraturan yang mengatur bagaimana Hukum Pajak Materiil dilaksanakan. Umumnya terdiri dari: hak dan kewajiban, prosedur dan sanksi-sanksi.

Hukum Pajak Formil ini wujudnya berupa: UU No. 28 tahun 2007 tentang KUP, UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dsb.

Dalam ilmu hukum termasuk juga hukum pajak berlaku ketentuan yang menyatakan “Lex Specialist derogat Lex Generalis” yang artinya hukum khusus bisa meniadakan hukum umum. Contoh “Lex Specialist derogat Lex Generalis” adalah P3B (tax treaty) mengalahkan PPh pasal 24.

Dengan demikian untuk bisa mamahami dan menerapkan pajak dengan benar tentunya bukan hanya memahami Undang-Undang Perpajakan tetapi harus memahami pula peraturan pelaksanaannya.

 

Kedudukan Hukum Pajak

 

Dalam sistem hukum di Indonesia kedudukan hukum pajak berada Seperti diketahui bahwa hukum pajak merupakan hukum publik atau hukum yang mengatur tentang hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya. Secara singkat kedudukan hum pajak tersebut nampak dalam bagan sebagai berikut :
Berdasarkan Pasal 23 A Undang – undang Dasar 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang – undang”. Keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara termasuk dalam ruang lingkup hukum pajak. Mengingat pengaturan ini menyangkut hubungan hukum antara negara dengan orang pribadi atau badan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, maka hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.

Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana dapat dilihat dengan adanya sanksi pidana atas kealpaan dan kesengajaan terhadap wajib pajak yang melanggar ketentuan perpajakan. Sedangkan hubungan pajak dengan hukum perdata adalah bahwa hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian – kejadian, keadaan – keaadaan dan perbuatan – perbuatan hukum yang bergerk dalam lingkungan perdata seperti penghasilan, kekayaan, perjanjian penyerahan hak dan sebagainya.

 

 

  1. PENAFSIRAN PAJAK DALAM HUKUM PAJAK

 

Apabila suatu peraturan menimbulkan berbagai penafsiran menurut pembacanya, maka yang berhak memutuskan penafsirannya adalah hakim, yaitu dalam hal terjadi sengketa yang diajukan ke pengadilan. Penafsiran yang sering digunakan dalam hukum perdata untuk memahami peraturan juga dapat digunakan dalam hukum publik, termasuk di dalamnya hukum pajak.

Berikut adalah jenis – jenis penafsiran pajak dalam hukum pajak :

  1. Penafsiran hitoris

Adalah penafsiran undang – undang dengan melihat sejarah dibuatnya undang – undang tersebut.

  1. Penafsiran sosiologis

Adalah penafsiran atas ketentuan undang – undang yang disesuaikan denagn kehidupan masyarakat yang selalu berkembang

  1. Penafsiran sistematik

Adalah penafsiran ketentuan dengan mengaitkannya dengan ketentuan (pasal-pasal) lain dalam undang – undang tersebut atau dari undang – undang lainnya.

  1. Penafsiran Otentik

Adalah penafsiran ketentuan dalam undang – undang dengan melihat hal – hal yang telah dijelaskan dalam undang – undang tersebut.

  1. Penafsiran Tata Bahasa

Adalah penafsiran ketentuan dalam undang – undang berdasarkan bunyi kata – kata secara keseluruhan dalam kalimat – kalimat yang disusun.

  1. Penafsiran Analogis

Adalah penafsiran ketentuan dengan cara member kiasan pada kata –kata yang tercantum dalam undang – undang, sehingga suatu peristiwa yang sesungguhnya tidak termasuk dalam ketentuan menjadi termasuk berdasarkan analog yang dibuat.

  1. Penafsiran A Contrario

Adalah penafsiran ketentuan undang – undang berdasarkan pada perlawanan pengertian antara masalah yang dihadapi dan masalah yang diatur dalam undang – undang.

 

  1. PERLAWANAN TERHADAP PAJAK

 

Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak dalam peran sertanya menanggung pembiayaan negara, maka dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kenegaraan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban perpajakan. Dalam hal demikian timbul perlawanan terhadap pajak. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi perlawanan pasif dan perlawanan aktif.

Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan serta dengan struktur ekonomi suatu negara, dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.

Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghidari pajak. Diantaranya dapat dibedakan cara – cara sebagai berikut :

  1. Penghidaran diri dari pajak (Tax Avoidance)

Contoh : Wajib pajak bisa memanfaatkan peraturan-peraturan yang bisa menimbulkan peda perspsi ( grey area) atau memanfaatkan celah undang-undang yang belum ada aturannya (loophold)

  1. Pengelakkan diri dari pajak (Tax Evasion)

Contoh : wajib pajak membuat pembukuan ganda untuk mengecilkan pajak yang terhutang, menyembunyikan omzet dan memperbesar beban.

  1. Melalaikan Pajak

Contoh : menghalangi penyitaan dengan menyembunyikan barang – barang yang akan disita, memusnahkan dokumen yang menjadi dasar pembukuan.

 

  1. STRUKTUR PEMUNGUTAN PAJAK

 

Tujuh kriteria struktur pajak yang baik yaitu:

  1. Hasil penerimaan pajak harus cukup besar

Kriteria pemilihan suatu pajak yang dipungut oleh suatu negara di berbagai tingkat pemerintah harus mampu menghasilkan penerimaan pajak (tax yield) yang cukup besar.

  1. Distribusi beban pajak harus adil

Penentuan suatu jenis Pajak harus mempertimbangkan struktur pajak yang ada dalam suatu negara secara keseluruhan.

  1. Tax Incidence harus tepat

Pemilihan suatu jenis pajak yang baik, tidak hanya mengatur subjek pajak dan objek pajak, tarif pajak, dan perbuatan, transaksi, keadaan, atau peristiwa apa yang menimbulkan utang pajak (Taatsbestand), tetapi yang lebih penting adalah menentukan siapa sebenarnya yang paling material yang menanggung beban pajak (tax Incidence).

  1. Non Distortive on Economic Activity

Suatu pajak yang baik dapat menghindarkan atau meminimalkan distorsi terhadap keputusan dalam aktivitas ekonomi, sehingga dapat menunjang pasar yang efisien.

  1. Menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi

Penerapan suatu pajak yang baik membebani pajak terhadap capital invesment, sehingga mendorong kegiatan investasi langsung baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

  1. Regulasi yang jelas, sederhana, mudah dipahami Wajib Pajak

Penyederhanaan peraturan perundang-undangan perpajakan telah menjadi kecenderungan bagi reformasi perpajakan di seluruh dunia, utamanya di negara- negara sedang berkembang.

  1. Biaya administrasi seefisien mungkin

Dengan peraturan yang jelas dan sederhana, disediakannya seluruh informasi peraturan parpajakan secara transparan dan dapat diakses oleh publik, memungkinkan pelaksanaan pembayaran pajak dengan biaya minimum.

 

 

  1. AZAS PEMUNGUTAN PAJAK

 

Azas dan prinsip pemungutan yang baik menurut Adam Smith dalam bukunya, “An Inquiry into the Nature and Cause of Nations”, harus memenuhi empat syarat, yaitu Equality, Certainty, Convenience of Payment, dan Efficient on Collection.

  1. Equality on Taxation,

Azas yang mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah adil, merata, dan tidak ada diskriminasi dalam menetapkan objek pajak, serta pembebanan kepada masing-masing subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuan-nya.

  1. Certainty on Taxation,

Asas kepastian hukum dalam perpajakan sebenarnya berlaku pula secara universal dalam bidang hukum lainnya. Aturan hukum pajak harus secara jelas dan pasti mengatur tentang apa yang menjadi objek pajak, siapa yang menjadi subjek pajak, berapa tarif yang berlaku, bagaimana cara menghitung dan cara membayarnya, kapan batas waktu jatuh tempo pembayarannya dan pelaporannya, dan regulasi lain yang diperlukan, sehingga tidak ada celah dan peluang untuk mengelakkan diri dari pajak, menyelundupkan pajak serta tidak mengenal kompromi.

  1. Convenience of payment,

Azas yang menyarankan agar pembayaran pajak dipungut pada waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat, yang paling sesuai dan menyenangkan bagi Wajib Pajak pada umumnya.

  1. Efficient on Collection,

Azas yang menyatakan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan cara efisien, dengan biaya administrasi yang hemat bagi aparat pajak,dan biaya kepatuhan yang murah bagi Wajib Pajak.

 

Sedangkan menurut W.J.Langen azas pemungutan pajak adalah sebagai berikut :

  1. Azas Daya Pikul

Berdasarlan azas ini besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.

  1. Azas Manfaat

pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.

  1. Azas Kesejahteraan

pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

  1. Azas Kesamaan

dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).

  1. Azas Beban yang sekecil-kecilnya

pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai objek pajak, sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.

 

Menurut Adolf Wagner, azas pemungutan pajak adalah sebagai berikut :

  1. Azas Politik Finansial,

Merupakan azas pemungutan pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.

  1. Azas Ekonomi,

Azaz pemungutan yang di dasarkan penentuan objek pajak harus tepat misalnya pajak pendapatan, pajak untuk barang – barang mewah.

  1. Azas Keadilan,

yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

  1. Azas Administrasi,

menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.

  1. Azas Yuridis,

segala pungutan pajak harus berdasarkan undang – undang.

 

 

  1. TEORI PEMUNGUTAN PAJAK

Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu :

  1. Teori Asuransi,

Menurut teori ini negara mampunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini, dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.

  1. Teori Kepentingan,

Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak dalah adanya kepentingan dari masing – masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini juga banyak ditentang karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Tetapi orang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.

 

  1. FUNGSI PAJAK

 

Pajak memiliki empat macam fungsi yaitu :

  1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin, maupun pengeluaran pembangunan. Penerimaan dari sektor pajak makin meningkat dari tahun ke tahun. Sejak awal anggaran tahun 1992 / 1993, penerimaan dari sektor pajak telah mencapai di atas 50% dari volume penerimaan APBN, sebelumnya penerimaan lebih banyak bertumpu pada sektor migas. Persentase tersebut terus meningkat hingga saat ini.

 

  1. Fungsi Mengatur (Reguleren)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras, sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah dan rokok.

 

  1. Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang dimasyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

 

  1. Fungsi Redistribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayaai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayaai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

 

  1. Fungsi demokrasi

Merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan. Fungsi ini pada saat sekarang sering dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat khususnya pembayar pajak. Apabila pajak telah dilaksanakan dengan baik, maka imbal baliknya pemerintah harus memberikan pelayanan terbaik.

 

Kelima fungsi tersebut merupakan peran utama pajak. Dalam perkembangannya, peran tersebut menjadi lebih luas dengan adanya fungsi yang lebih menekankan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya lapidan tarif dalam pengenaan pajak, yaitu tarif pajak yang lebih besar untuk tingkat atau lapisan penghasilan yang lebih tinggi.

 

 

  1. CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN SISTEMNYA

 

Secara umum ada tiga cara dalam pemungutan pajak.

  1. Stelsel Nyata (Riil Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhr tahun pajak yaitu setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui.

Kelebihan    : pajak yang dikenakan lebih realistis.

Kelemahan : pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode

 

  1. Stelsel Fiktif (Fictive Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang – undang.

Kelebihan    : pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu pada akhir tahun

Kelemahan : pajak yang dibayar tidak berdasar pada keadaan yang sesungguhnya.

 

  1. Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

 

Sistem pemungutan pajak di Indonesia ada 3 (tiga), yaitu:

  1. Self Assessment System

Sistem ini digunakan dalam memungut pajak pusat/pajak negara. Arti dari sistem ini adalah: wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung sendiri, memperhitungkan sendiri, menyetor & melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Sistem ini tercermin dalam perhitungan PPh di akhir tahun. Keberhasilan sistem ini sangat tergantung dari kesadaran masyarakat, kejelasan UU, dan profesionalisme aparat.

 

  1. Official Assessment System

Sistem ini masih digunakan dalam memungut pajak daerah dan pajak pusat yang bersifat final. Dalam sistem ini yang menentukan besarnya pajak adalah aparat pajak (fiscus) dan wajib pajak bersifat pasif. Keberhasilan sistem ini sangat tergantung dari keaktifan dan profesionalisme aparat (fiscus).

 

 

 

  1. Witholding System

Sistem ini masih digunakan dalam pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah. Pengertian sistem ini adalah dalam pemungutan dan penyetoran pajak pemerintah (fiscus) melibatkan wajib pajak yang lain. Sistem ini kontribusinya terhadap penerimaan pajak masih sangat dominan.

Contoh :

  • Pemerintah Daerah memungut pajak hotel melalui pengusaha hotel.
  • Pemerintah Pusat memungut PPh 21 melalui pemberi kerja.

 

 

  1. AZAS PENGENAAN PAJAK / YURISDIKSI PEMAJAKAN

 

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan – ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam pasal 23 ayat (2) UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang – undang perpajakan. Untuk dapat menyusun suatu undang – undang perpajakan, diperlukan azas – azas atau dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Terdapat beberapa azas yang dapat dipakai oleh negara sebagai dasar untuk memungut pajak :

  1. Azas Domisili atau disebut juga Azas Kependudukan (domicile / residence principle)

Berdasarkan azas ini, pajak dikenakan terhadap orang pribadi atau badan dinegara mana dia berdomisili. Negara akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh orang pribadi atau badan baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri (world wide income concept). Beberapa negara yang menerapkan konsep ini antara lain : Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Vietnam, RRC, Australia, Thailand, Filiphina, Korea Selatan, dan New Zealand.

 

  1. Azas Sumber

Dalam azas ini negara hanya mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri (Territorial Income) dengan demikian orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari luar negeri tidak akan dikenakan pajak dinegara dia berdomisili. Azas ini bertujuan agar warga negara dari suatu negar yanga bersangkutan bisa berinvestasi diluar negeri yang akhirnya akan bisa memberikan dampak yang lain terhadap negaranya.

Beberapa negara yang menerapkan Territorial Income ini adalah : Singapura, Malaysia, Hongkong, dan Perancis.

 

  1. Azas Kebangsaan atau Azas Nasionalitas atau disebut juga Azas Kewarganegaraan (nationality / citizenship principle)

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Suatu negara memungut pajak atas orang yang mempunyai kebangsaan negara tersebut tanpa memperhatikan dimana ia tinggal.

 

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara azas domisili atau kependudukan dan azas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan azas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua azas tersebut, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam azas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam azas nasionalitas). Sementara itu, pada azas sumber yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada azas domisili dan nasionalitas, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh dimana saja (world wide income), sedangkan pada azas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan – penghasilan yang diperoleh dari sumber – sumber yang ada di negara yang bersangkutan.

Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu azas saja tetapi mengadopsi lebih dari satu azas, bisa gabungan azas domisili dengan azas sumber, gabungan azas nasionalitas dengan sumber, bahkan bisa merupakan gabungan ketiganya.

Indonesia, dari ketentuan yang dimuat dalam Undang – undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan undang – undang No. 36 Tahun 2009, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut azas kewarganegaraan yang parsial atau menganut azas domisili.

Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident individual) menggunakan azas domisili, dimana berdasarkan azas ini, seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non – resident) Jepang dan badan – badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilah atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber – sumber di Jepang.

Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usahsa luar negeri hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia.

 

 

  1. PENGGOLONGAN PAJAK

 

Banyak sekali jenis pajak yang kita hadapi, namun secara garis besar pajak dapat dikelompokkan sbb:

  1. Pajak Pusat (Pajak Negara)

Pajak ini dipungut oleh pemerintah pusat/negara sehingga hasilnya masuk ke kas negara. Dasar pemungutannya Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya. Pengelolanya adalah Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dan dipungut dengan sistem pemungutan Self Assesment System , Official Assesment System dan Witholding System.

 

Contoh Pajak Pusat :

  • PPh (Pajak Penghasilan)
  • PPN & PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan atas Barang Mewah)
  • PBB (Pajak Bumi & Bangunan) ( diluar PBB sektor perkotaan dan pedesaan)
  • BM (Bea Materai)
  • PPhTB (PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan)
  • Pajak Ekspor.

 

  1. Pajak Daerah

Pajak ini dipungut oleh Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) sehingga hasilnya masuk ke kas daerah. Dasar pemungutannya adalah Undang-undang dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Daerah. Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah.

Sistem pemungutannya Official Assesment System & Witholding System.

Contoh Pajak Daerah:

  • Pajak Propinsi
  • Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  • Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
  • Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
  • Air permukaan (AP)
  • Pajak Rokok

 

  • Pajak kabupaten/kota
  • Pajak Hotel
  • Pajak Restoran
  • Pajak Hiburan
  • Pajak Reklame
  • Pajak Penerangan Jalan
  • Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
  • Pajak Parkir
  • Pajak Air Tanah
  • Pajak Sarang Burung Walet
  • Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
  • Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

 

Selain pajak daerah tersebut Pemerintah kabupaten/kota juga berwenang memungut retribusi serupa dengan pajak, namun bedanya terletak pada kontra prestasinya yang bisa dinikmati langsung oleh pembayar retribusi.

 

Contoh retribusi antara lain:

  1. Retribusi Jasa Umum, terdiri dari :
  • Retribusi Palayanan Kesehatan
  • Retribusi Pelayanan Kesampahan / Kebersihan
  • Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akte Pencatatan Sipil
  • Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
  • Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
  • Retribusi Pelayanan Pasar
  • Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
  • Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
  • Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
  • Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.

 

  1. Retribusi Jasa Usaha, terdiri dari;
  • Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
  • Retribusi Pasar Grosir dan / atau Pertokoan;
  • Retribusi Tempat Pelelangan;
  • Retribusi Terminal;
  • Retribusi Tempat Khusus Parkir ;
  • Retribusi Tempat Penginapan / Pesenggrahan / Villa;
  • Retribusi Penyedotan Kakus
  • Retribusi Rumah Potong Hewan;
  • Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;
  • Retribusi Tempat rekreasi dan Olah Raga;
  • Retribusi Penyebrangan diatas air
  • Retribusi Pengolahan Limbah Cair
  • Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

 

  1. Retribusi Perizinan Tertentu
  • Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
  • Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
  • Retribusi Izin Gangguan
  • Retribusi Izin Trayek

 

 

  1. TARIF PAJAK

 

Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan sebab keadilan dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting utnuk kesejahteraan masyarakat. Dalam penetapa tarif harus berdasarkan pada keadilan. Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam persentase.

Dalam pajak penghasilan, persentase tarifnya dibedakan :

  1. Tarif Marginal

Persentase tarif ini berlau untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. Sebagai contoh adalah penghitungan pajak penghasilan orang pribadi. Untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak melebihi 0 sampai dengan Rp 50.000.000,- sebesar 5% yang diikuti pula untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak diatas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- dengan tarif marginal sebesar 15%.

  1. Tarif Efektif

Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu.

 

Struktur tarif yang berhubungan dengan pola persentase tarif pajak dikenai dua macam tarif, yaitu :

  1. Tarif Proporsional / sebanding

Yaitu tarif berupa persentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Sering disebut tarif tunggal, karena hanya menggunakan satu tarif dengan persentase tetap. Contoh tarif PPN 10%.

 

  1. Tarif Progresif

Adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar apabila yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. Misalnya pajak penghasilan. Memperhatikan kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi :

  1. Tarif Progresif Progresif

Dalam hal ini, kenaikan persentase pajaknya semakin besar

  1. Tarif Progresif Tetap

Kenaikan persentasenya tetap

  • Tarif Progresif Degresif

Kenaikan persentasenya semakin kecil

  1. Tarif Degresif

Adalah presentase tarif pajak yang semakin menurun apabila jumlah yang menadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar.

  1. Tarif tetap

Adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama jumlahnya) terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh : Bea Meterai

  1. Tarif Pajak Advolerem

Merupakan tarif dengan persentase tertentu atas harga barang atau nilai suatu barang.

  • Tarif Spesifik

Merupakan tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis atau satuan jenis barang tertentu.

 

 

  1. UTANG PAJAK

 

Utang pajak timbul karena Surat Ketetapan Pajak (Ajaran Formal), ajaran ini diterangkan pada official assessment system. Perbedaan dengan ajaran materiil bahwa utang pajak timbul karena undang – undang. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.

 

Terhapusnya utang pajak disebabkan :

  1. Pembayaran

Utang pajak akah terhapus karena pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak ke kas negara.

  1. Kompensasi

Kompensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak.

  1. Daluwarsa

Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan setelah lampau waktu 5 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan.

  1. Pembebasan

Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya karena ditiadakan. Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi administrasi.

  1. Penghapusan

Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya karena keadaan keuangan wajib pajak.

 

 

  1. PENGERTIAN PAJAK DAN PUNGUTAN LAINNYA

 

Pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat memahami mengapa kita harus membayar pajak. Ketika kita sudah memahami hal ini, diharapkan muncul kesadaran akan kewajiban untuk membayar pajak.

Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pajak diantaranya :

Prof. Dr. P. J. A. Andriani menyatakan bahwa “ pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

Sedangkan pengertian Pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, dalam bukunya “Dasar – dasar hukum Pajak dan Pajak Pendapatan” (1990:5) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R,pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Sedangkan Pengertian pajak menurut Undang – Undang No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan pasal 1 menyebutkan :

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan pengertian – pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ciri – ciri pajak adalah sebagai berikut :

  1. Pajak merupakan kontribusi wajib dari masyarakat kepada Negara
  2. Tanpa kontra prestasi secara langsung
  3. Dipungut oleh pemerintah pusat (negara) maupun oleh pemerintah daerah (propinsi, kabupaten/kota) berdasarkan UU & aturan pelaksanaanya, sehingga sanksinya tegas dan bisa dipaksakan.
  4. Digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan-kemakmuran masyarakat.
  5. Memiliki fungsi untuk mengisi kas/anggaran negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintah (budgetair) dan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam bidang ekonomi.

 

Selain pajak, ada juga beberapa pungutan lain yang dikenakan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah kepada masyarakat, pungutan – pungutan tersebut antara lain :

Retribusi adalah pembayaran dengan mendapatkan kontraprestasi (balas jasa) secara langsung dapat dirasakan. Misalnya pembayaran karcis parkir, karcis masuk terminal, dan pembayaran uang kuliah. Pungutan Retribusi di Indonesia diatur dalam Undang – undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Sumbangan adalah pembayaran yang tidak mendapatkan kontraprestasi sama sekali. Sedangkan penerima sumbangan merasakan imbalan / manfaat langsung dari sumbangnan tersebut. Misalnya sumbangan untuk korban Bencana Alam.

 

 

  1. SUMBER HUKUM PAJAK DAN KEDUDUKAN HUKUM PAJAK

 

Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat sebagai pembayar pajak (Wajib Pajak). Hukum pajak sering juga disebut hukum fiskal yang merupakan bagian dari hukum publik/hukum administrasi negara.

 

Hukum Pajak dibedakan menjadi:

 

  1. Hukum Pajak Materiil

Adalah peraturan yang mengatur tentang pajak yang sifatnya umum. Hukum pajak materiil memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, hukum dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak. Umumnya mengandung unsur-unsur subjek, objek, tarif dan Dasar Pengenaan Pajak.

Hukum Pajak Materiil ini wujudnya berupa Undang-Undang Perpajakan, seperti ; Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, UU No. 18 tahun 2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 42 tahun 2009 tentang PPN & PPnBM, dsb.

 

  1. Hukum Pajak Formil

Adalah Peraturan yang mengatur bagaimana Hukum Pajak Materiil dilaksanakan. Umumnya terdiri dari: hak dan kewajiban, prosedur dan sanksi-sanksi.

Hukum Pajak Formil ini wujudnya berupa: UU No. 28 tahun 2007 tentang KUP, UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dsb.

Dalam ilmu hukum termasuk juga hukum pajak berlaku ketentuan yang menyatakan “Lex Specialist derogat Lex Generalis” yang artinya hukum khusus bisa meniadakan hukum umum. Contoh “Lex Specialist derogat Lex Generalis” adalah P3B (tax treaty) mengalahkan PPh pasal 24.

Dengan demikian untuk bisa mamahami dan menerapkan pajak dengan benar tentunya bukan hanya memahami Undang-Undang Perpajakan tetapi harus memahami pula peraturan pelaksanaannya.

 

Kedudukan Hukum Pajak

 

Dalam sistem hukum di Indonesia kedudukan hukum pajak berada Seperti diketahui bahwa hukum pajak merupakan hukum publik atau hukum yang mengatur tentang hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya. Secara singkat kedudukan hum pajak tersebut nampak dalam bagan sebagai berikut :

 

Berdasarkan Pasal 23 A Undang – undang Dasar 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang – undang”. Keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara termasuk dalam ruang lingkup hukum pajak. Mengingat pengaturan ini menyangkut hubungan hukum antara negara dengan orang pribadi atau badan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, maka hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.

Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana dapat dilihat dengan adanya sanksi pidana atas kealpaan dan kesengajaan terhadap wajib pajak yang melanggar ketentuan perpajakan. Sedangkan hubungan pajak dengan hukum perdata adalah bahwa hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian – kejadian, keadaan – keaadaan dan perbuatan – perbuatan hukum yang bergerk dalam lingkungan perdata seperti penghasilan, kekayaan, perjanjian penyerahan hak dan sebagainya.

 

 

  1. PENAFSIRAN PAJAK DALAM HUKUM PAJAK

 

Apabila suatu peraturan menimbulkan berbagai penafsiran menurut pembacanya, maka yang berhak memutuskan penafsirannya adalah hakim, yaitu dalam hal terjadi sengketa yang diajukan ke pengadilan. Penafsiran yang sering digunakan dalam hukum perdata untuk memahami peraturan juga dapat digunakan dalam hukum publik, termasuk di dalamnya hukum pajak.

Berikut adalah jenis – jenis penafsiran pajak dalam hukum pajak :

  1. Penafsiran hitoris

Adalah penafsiran undang – undang dengan melihat sejarah dibuatnya undang – undang tersebut.

  1. Penafsiran sosiologis

Adalah penafsiran atas ketentuan undang – undang yang disesuaikan denagn kehidupan masyarakat yang selalu berkembang

  1. Penafsiran sistematik

Adalah penafsiran ketentuan dengan mengaitkannya dengan ketentuan (pasal-pasal) lain dalam undang – undang tersebut atau dari undang – undang lainnya.

  1. Penafsiran Otentik

Adalah penafsiran ketentuan dalam undang – undang dengan melihat hal – hal yang telah dijelaskan dalam undang – undang tersebut.

  1. Penafsiran Tata Bahasa

Adalah penafsiran ketentuan dalam undang – undang berdasarkan bunyi kata – kata secara keseluruhan dalam kalimat – kalimat yang disusun.

  1. Penafsiran Analogis

Adalah penafsiran ketentuan dengan cara member kiasan pada kata –kata yang tercantum dalam undang – undang, sehingga suatu peristiwa yang sesungguhnya tidak termasuk dalam ketentuan menjadi termasuk berdasarkan analog yang dibuat.

  1. Penafsiran A Contrario

Adalah penafsiran ketentuan undang – undang berdasarkan pada perlawanan pengertian antara masalah yang dihadapi dan masalah yang diatur dalam undang – undang.

 

 

  1. PERLAWANAN TERHADAP PAJAK

 

Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak dalam peran sertanya menanggung pembiayaan negara, maka dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kenegaraan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban perpajakan. Dalam hal demikian timbul perlawanan terhadap pajak. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi perlawanan pasif dan perlawanan aktif.

Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan serta dengan struktur ekonomi suatu negara, dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.

Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghidari pajak. Diantaranya dapat dibedakan cara – cara sebagai berikut :

  1. Penghidaran diri dari pajak (Tax Avoidance)

Contoh : Wajib pajak bisa memanfaatkan peraturan-peraturan yang bisa menimbulkan peda perspsi ( grey area) atau memanfaatkan celah undang-undang yang belum ada aturannya (loophold)

  1. Pengelakkan diri dari pajak (Tax Evasion)

Contoh : wajib pajak membuat pembukuan ganda untuk mengecilkan pajak yang terhutang, menyembunyikan omzet dan memperbesar beban.

  1. Melalaikan Pajak

Contoh : menghalangi penyitaan dengan menyembunyikan barang – barang yang akan disita, memusnahkan dokumen yang menjadi dasar pembukuan.

 

  1. STRUKTUR PEMUNGUTAN PAJAK

 

Tujuh kriteria struktur pajak yang baik yaitu:

  1. Hasil penerimaan pajak harus cukup besar

Kriteria pemilihan suatu pajak yang dipungut oleh suatu negara di berbagai tingkat pemerintah harus mampu menghasilkan penerimaan pajak (tax yield) yang cukup besar.

  1. Distribusi beban pajak harus adil

Penentuan suatu jenis Pajak harus mempertimbangkan struktur pajak yang ada dalam suatu negara secara keseluruhan.

  1. Tax Incidence harus tepat

Pemilihan suatu jenis pajak yang baik, tidak hanya mengatur subjek pajak dan objek pajak, tarif pajak, dan perbuatan, transaksi, keadaan, atau peristiwa apa yang menimbulkan utang pajak (Taatsbestand), tetapi yang lebih penting adalah menentukan siapa sebenarnya yang paling material yang menanggung beban pajak (tax Incidence).

  1. Non Distortive on Economic Activity

Suatu pajak yang baik dapat menghindarkan atau meminimalkan distorsi terhadap keputusan dalam aktivitas ekonomi, sehingga dapat menunjang pasar yang efisien.

  1. Menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi

Penerapan suatu pajak yang baik membebani pajak terhadap capital invesment, sehingga mendorong kegiatan investasi langsung baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

  1. Regulasi yang jelas, sederhana, mudah dipahami Wajib Pajak

Penyederhanaan peraturan perundang-undangan perpajakan telah menjadi kecenderungan bagi reformasi perpajakan di seluruh dunia, utamanya di negara- negara sedang berkembang.

  1. Biaya administrasi seefisien mungkin

Dengan peraturan yang jelas dan sederhana, disediakannya seluruh informasi peraturan parpajakan secara transparan dan dapat diakses oleh publik, memungkinkan pelaksanaan pembayaran pajak dengan biaya minimum.

 

 

  1. AZAS PEMUNGUTAN PAJAK

 

Azas dan prinsip pemungutan yang baik menurut Adam Smith dalam bukunya, “An Inquiry into the Nature and Cause of Nations”, harus memenuhi empat syarat, yaitu Equality, Certainty, Convenience of Payment, dan Efficient on Collection.

  1. Equality on Taxation,

Azas yang mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah adil, merata, dan tidak ada diskriminasi dalam menetapkan objek pajak, serta pembebanan kepada masing-masing subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuan-nya.

  1. Certainty on Taxation,

Asas kepastian hukum dalam perpajakan sebenarnya berlaku pula secara universal dalam bidang hukum lainnya. Aturan hukum pajak harus secara jelas dan pasti mengatur tentang apa yang menjadi objek pajak, siapa yang menjadi subjek pajak, berapa tarif yang berlaku, bagaimana cara menghitung dan cara membayarnya, kapan batas waktu jatuh tempo pembayarannya dan pelaporannya, dan regulasi lain yang diperlukan, sehingga tidak ada celah dan peluang untuk mengelakkan diri dari pajak, menyelundupkan pajak serta tidak mengenal kompromi.

  1. Convenience of payment,

Azas yang menyarankan agar pembayaran pajak dipungut pada waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat, yang paling sesuai dan menyenangkan bagi Wajib Pajak pada umumnya.

  1. Efficient on Collection,

Azas yang menyatakan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan cara efisien, dengan biaya administrasi yang hemat bagi aparat pajak,dan biaya kepatuhan yang murah bagi Wajib Pajak.

 

Sedangkan menurut W.J.Langen azas pemungutan pajak adalah sebagai berikut :

  1. Azas Daya Pikul

Berdasarlan azas ini besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.

  1. Azas Manfaat

pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.

  1. Azas Kesejahteraan

pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

  1. Azas Kesamaan

dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).

  1. Azas Beban yang sekecil-kecilnya

pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai objek pajak, sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.

 

Menurut Adolf Wagner, azas pemungutan pajak adalah sebagai berikut :

  1. Azas Politik Finansial,

Merupakan azas pemungutan pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.

  1. Azas Ekonomi,

Azaz pemungutan yang di dasarkan penentuan objek pajak harus tepat misalnya pajak pendapatan, pajak untuk barang – barang mewah.

  1. Azas Keadilan,

yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

  1. Azas Administrasi,

menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.

  1. Azas Yuridis,

segala pungutan pajak harus berdasarkan undang – undang.

 

 

  1. TEORI PEMUNGUTAN PAJAK

Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu :

  1. Teori Asuransi,

Menurut teori ini negara mampunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini, dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.

  1. Teori Kepentingan,

Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak dalah adanya kepentingan dari masing – masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini juga banyak ditentang karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Tetapi orang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.

 

  1. FUNGSI PAJAK

 

Pajak memiliki empat macam fungsi yaitu :

  1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin, maupun pengeluaran pembangunan. Penerimaan dari sektor pajak makin meningkat dari tahun ke tahun. Sejak awal anggaran tahun 1992 / 1993, penerimaan dari sektor pajak telah mencapai di atas 50% dari volume penerimaan APBN, sebelumnya penerimaan lebih banyak bertumpu pada sektor migas. Persentase tersebut terus meningkat hingga saat ini.

 

  1. Fungsi Mengatur (Reguleren)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras, sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah dan rokok.

 

  1. Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang dimasyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

 

  1. Fungsi Redistribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayaai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayaai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

 

  1. Fungsi demokrasi

Merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan. Fungsi ini pada saat sekarang sering dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat khususnya pembayar pajak. Apabila pajak telah dilaksanakan dengan baik, maka imbal baliknya pemerintah harus memberikan pelayanan terbaik.

 

Kelima fungsi tersebut merupakan peran utama pajak. Dalam perkembangannya, peran tersebut menjadi lebih luas dengan adanya fungsi yang lebih menekankan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya lapidan tarif dalam pengenaan pajak, yaitu tarif pajak yang lebih besar untuk tingkat atau lapisan penghasilan yang lebih tinggi.

 

 

  1. CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN SISTEMNYA

 

Secara umum ada tiga cara dalam pemungutan pajak.

  1. Stelsel Nyata (Riil Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhr tahun pajak yaitu setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui.

Kelebihan    : pajak yang dikenakan lebih realistis.

Kelemahan : pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode

 

  1. Stelsel Fiktif (Fictive Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang – undang.

Kelebihan    : pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu pada akhir tahun

Kelemahan : pajak yang dibayar tidak berdasar pada keadaan yang sesungguhnya.

 

  1. Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

 

Sistem pemungutan pajak di Indonesia ada 3 (tiga), yaitu:

  1. Self Assessment System

Sistem ini digunakan dalam memungut pajak pusat/pajak negara. Arti dari sistem ini adalah: wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung sendiri, memperhitungkan sendiri, menyetor & melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Sistem ini tercermin dalam perhitungan PPh di akhir tahun. Keberhasilan sistem ini sangat tergantung dari kesadaran masyarakat, kejelasan UU, dan profesionalisme aparat.

 

  1. Official Assessment System

Sistem ini masih digunakan dalam memungut pajak daerah dan pajak pusat yang bersifat final. Dalam sistem ini yang menentukan besarnya pajak adalah aparat pajak (fiscus) dan wajib pajak bersifat pasif. Keberhasilan sistem ini sangat tergantung dari keaktifan dan profesionalisme aparat (fiscus).

 

 

 

  1. Witholding System

Sistem ini masih digunakan dalam pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah. Pengertian sistem ini adalah dalam pemungutan dan penyetoran pajak pemerintah (fiscus) melibatkan wajib pajak yang lain. Sistem ini kontribusinya terhadap penerimaan pajak masih sangat dominan.

Contoh :

  • Pemerintah Daerah memungut pajak hotel melalui pengusaha hotel.
  • Pemerintah Pusat memungut PPh 21 melalui pemberi kerja.

 

 

  1. AZAS PENGENAAN PAJAK / YURISDIKSI PEMAJAKAN

 

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan – ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam pasal 23 ayat (2) UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang – undang perpajakan. Untuk dapat menyusun suatu undang – undang perpajakan, diperlukan azas – azas atau dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Terdapat beberapa azas yang dapat dipakai oleh negara sebagai dasar untuk memungut pajak :

  1. Azas Domisili atau disebut juga Azas Kependudukan (domicile / residence principle)

Berdasarkan azas ini, pajak dikenakan terhadap orang pribadi atau badan dinegara mana dia berdomisili. Negara akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh orang pribadi atau badan baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri (world wide income concept). Beberapa negara yang menerapkan konsep ini antara lain : Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Vietnam, RRC, Australia, Thailand, Filiphina, Korea Selatan, dan New Zealand.

 

  1. Azas Sumber

Dalam azas ini negara hanya mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri (Territorial Income) dengan demikian orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari luar negeri tidak akan dikenakan pajak dinegara dia berdomisili. Azas ini bertujuan agar warga negara dari suatu negar yanga bersangkutan bisa berinvestasi diluar negeri yang akhirnya akan bisa memberikan dampak yang lain terhadap negaranya.

Beberapa negara yang menerapkan Territorial Income ini adalah : Singapura, Malaysia, Hongkong, dan Perancis.

 

  1. Azas Kebangsaan atau Azas Nasionalitas atau disebut juga Azas Kewarganegaraan (nationality / citizenship principle)

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Suatu negara memungut pajak atas orang yang mempunyai kebangsaan negara tersebut tanpa memperhatikan dimana ia tinggal.

 

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara azas domisili atau kependudukan dan azas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan azas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua azas tersebut, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam azas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam azas nasionalitas). Sementara itu, pada azas sumber yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada azas domisili dan nasionalitas, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh dimana saja (world wide income), sedangkan pada azas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan – penghasilan yang diperoleh dari sumber – sumber yang ada di negara yang bersangkutan.

Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu azas saja tetapi mengadopsi lebih dari satu azas, bisa gabungan azas domisili dengan azas sumber, gabungan azas nasionalitas dengan sumber, bahkan bisa merupakan gabungan ketiganya.

Indonesia, dari ketentuan yang dimuat dalam Undang – undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan undang – undang No. 36 Tahun 2009, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut azas kewarganegaraan yang parsial atau menganut azas domisili.

Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident individual) menggunakan azas domisili, dimana berdasarkan azas ini, seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non – resident) Jepang dan badan – badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilah atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber – sumber di Jepang.

Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usahsa luar negeri hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia.

 

 

  1. PENGGOLONGAN PAJAK

 

Banyak sekali jenis pajak yang kita hadapi, namun secara garis besar pajak dapat dikelompokkan sbb:

  1. Pajak Pusat (Pajak Negara)

Pajak ini dipungut oleh pemerintah pusat/negara sehingga hasilnya masuk ke kas negara. Dasar pemungutannya Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya. Pengelolanya adalah Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dan dipungut dengan sistem pemungutan Self Assesment System , Official Assesment System dan Witholding System.

 

Contoh Pajak Pusat :

  • PPh (Pajak Penghasilan)
  • PPN & PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan atas Barang Mewah)
  • PBB (Pajak Bumi & Bangunan) ( diluar PBB sektor perkotaan dan pedesaan)
  • BM (Bea Materai)
  • PPhTB (PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan)
  • Pajak Ekspor.

 

  1. Pajak Daerah

Pajak ini dipungut oleh Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) sehingga hasilnya masuk ke kas daerah. Dasar pemungutannya adalah Undang-undang dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Daerah. Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah.

Sistem pemungutannya Official Assesment System & Witholding System.

Contoh Pajak Daerah:

  • Pajak Propinsi
  • Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  • Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
  • Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
  • Air permukaan (AP)
  • Pajak Rokok

 

  • Pajak kabupaten/kota
  • Pajak Hotel
  • Pajak Restoran
  • Pajak Hiburan
  • Pajak Reklame
  • Pajak Penerangan Jalan
  • Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
  • Pajak Parkir
  • Pajak Air Tanah
  • Pajak Sarang Burung Walet
  • Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
  • Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

 

Selain pajak daerah tersebut Pemerintah kabupaten/kota juga berwenang memungut retribusi serupa dengan pajak, namun bedanya terletak pada kontra prestasinya yang bisa dinikmati langsung oleh pembayar retribusi.

 

Contoh retribusi antara lain:

  1. Retribusi Jasa Umum, terdiri dari :
  • Retribusi Palayanan Kesehatan
  • Retribusi Pelayanan Kesampahan / Kebersihan
  • Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akte Pencatatan Sipil
  • Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
  • Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
  • Retribusi Pelayanan Pasar
  • Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
  • Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
  • Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
  • Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.

 

  1. Retribusi Jasa Usaha, terdiri dari;
  • Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
  • Retribusi Pasar Grosir dan / atau Pertokoan;
  • Retribusi Tempat Pelelangan;
  • Retribusi Terminal;
  • Retribusi Tempat Khusus Parkir ;
  • Retribusi Tempat Penginapan / Pesenggrahan / Villa;
  • Retribusi Penyedotan Kakus
  • Retribusi Rumah Potong Hewan;
  • Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;
  • Retribusi Tempat rekreasi dan Olah Raga;
  • Retribusi Penyebrangan diatas air
  • Retribusi Pengolahan Limbah Cair
  • Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

 

  1. Retribusi Perizinan Tertentu
  • Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
  • Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
  • Retribusi Izin Gangguan
  • Retribusi Izin Trayek

 

 

  1. TARIF PAJAK

 

Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan sebab keadilan dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting utnuk kesejahteraan masyarakat. Dalam penetapa tarif harus berdasarkan pada keadilan. Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam persentase.

Dalam pajak penghasilan, persentase tarifnya dibedakan :

  1. Tarif Marginal

Persentase tarif ini berlau untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. Sebagai contoh adalah penghitungan pajak penghasilan orang pribadi. Untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak melebihi 0 sampai dengan Rp 50.000.000,- sebesar 5% yang diikuti pula untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak diatas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- dengan tarif marginal sebesar 15%.

  1. Tarif Efektif

Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu.

 

Struktur tarif yang berhubungan dengan pola persentase tarif pajak dikenai dua macam tarif, yaitu :

  1. Tarif Proporsional / sebanding

Yaitu tarif berupa persentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Sering disebut tarif tunggal, karena hanya menggunakan satu tarif dengan persentase tetap. Contoh tarif PPN 10%.

 

  1. Tarif Progresif

Adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar apabila yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. Misalnya pajak penghasilan. Memperhatikan kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi :

  1. Tarif Progresif Progresif

Dalam hal ini, kenaikan persentase pajaknya semakin besar

  1. Tarif Progresif Tetap

Kenaikan persentasenya tetap

  • Tarif Progresif Degresif

Kenaikan persentasenya semakin kecil

  1. Tarif Degresif

Adalah presentase tarif pajak yang semakin menurun apabila jumlah yang menadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar.

  1. Tarif tetap

Adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama jumlahnya) terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh : Bea Meterai

  1. Tarif Pajak Advolerem

Merupakan tarif dengan persentase tertentu atas harga barang atau nilai suatu barang.

  • Tarif Spesifik

Merupakan tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis atau satuan jenis barang tertentu.

 

 

  1. UTANG PAJAK

 

Utang pajak timbul karena Surat Ketetapan Pajak (Ajaran Formal), ajaran ini diterangkan pada official assessment system. Perbedaan dengan ajaran materiil bahwa utang pajak timbul karena undang – undang. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.

 

Terhapusnya utang pajak disebabkan :

  1. Pembayaran

Utang pajak akah terhapus karena pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak ke kas negara.

  1. Kompensasi

Kompensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak.

  1. Daluwarsa

Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan setelah lampau waktu 5 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan.

  1. Pembebasan

Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya karena ditiadakan. Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi administrasi.

  1. Penghapusan

Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya karena keadaan keuangan wajib pajak.

Hello world!

Posted Monday, March 16th, 2015

Welcome to Wadah Aspirasi dan Kreasi Mahasiswa UGM Sites. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!